Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMS

AKSI NYATA EDUKASI SEKSUAL

Pernikahan anak, kekerasan seksual, dan perkosaan menjadi berita utama di berbagai media massa saat ini.  Informasi tersebut gencar mengemuka dengan narasi dan angka-angka fantastis yang membuat hati miris.

Banyaknya Kasus tersebut mengindikasikan ada problem sosial yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Semua kasus tersebut menimbulkan dampak yang berkepanjangan, baik bagi pribadi yang bersangkutan, keluarga, maupun masyarakat.

Perkawinan anak (perkawinan dini) merupakan salah satu kasus yang memiliki catatan paling akurat. Misalnya, Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2021 terdapat 59.709 kasus pernikahan dini yang diberi dispensasi oleh pengadilan. Berdasarkan berita-berita terkini, tampaknya kondisi pada 2022 tidak jauh berbeda.

Komnas Perempuan pernah menyiarkan, Perkawinan anak merupakan praktik berbahaya yang menghambat Indonesia Emas 2045, https://komnasperempuan.go.id/. Dalam siaran itu dicatat enam bahaya perkawinan anak, yaitu rentan menyelesaikan studi, kerugian ekonomi, rentan perceraian dan KDRT, meningkatkan angka kematian ibu melahirkan, meningkatkan angka kematian bayi, serta meningkatkan stunting.

Data-data tersebut menunjukkan sudah mendesak dilakukan aksi nyata pencegahan kasus-kasus semacam itu. Aksi nyata dapat dimulai dengan edukasi seksual secara massif melalui Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Agar aksinyata ini betul-betul efektif, dibutuhkan kesamaan persepsi, semangat, dan tindakan dari semua elemen pendidikan ini.

Mari Bertindak

Edukasi seksual mendesak dilakukan terhadap generasi mudak sejak dini. Paling tidak bentuk pendidikan itu berupa tindakan mengedukasi generasi muda agar memahami dan mempraktikkan relasi kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi.

Pertama, keluarga segera menyadarkan anak-anaknya sejak kecil adanya perbedaan jenis kelamin, memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan, mengajarkan merawat organ vitas dan seterusnya

Kedua, sekolah perlu mengintegrasikan pesan pesan kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi di semua mata pelajaran yang memungkinkan. Dampaknya akan mengurangi bahkan menghilangkan tindakan-tindakan negatif seperti perundungan, pelecahan seksual, dan pemerkosaan.

Ketiga, Masyarakat juga perlu memiliki regulasi atau etika bergaul yang sensitif terhadap kesetaran gender. Regulasi itu disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga menjadi pedoman bertingkah laku. Penyuluhan tentang kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi perlu diagendakan secara rutin di tingkat RW maupun RT di seluruh Indonesia.

Keempat, pemerintah harus hadir untuk mendampingi masyarakat dengan regulasi dan pedoman yang jelas. Pemerintah perlu menggerakkan instansi- instansi terkait untuk menyediakan modul-modul atau panduan edukasi seksual berdasarkan kebujakan Pemerintah. Modul/Pedoman itu kemudian dimanfaatkan untuk penyuluhan-penyuluhan di masyarakat.

Main Sufanti, dosen PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta

Artikel ini terbit di Suara Merdeka pada Tanggal 6 Februari 2023

Scroll to Top